Oleh: Ihya'ul Ulum |
Dalam islam, kalender tidak hanya
digunakan sebagai petunjuk tannggal semata. Lebih dari itu, ia juga digunakan
sebagai acuan dalam melaksanakan ibadah, seperti puasa, dua hari raya dan juga
ibadah haji. Puasa dilaksanakan dibulan Ramadhan, Idul fitri pada bulan Syawal
dan ibadah Haji pada bulan Dzulhijjah. Karena itu, penetapan waktu, hari, dan
awal bulan merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan, sebab ia juga
memiliki hubungan dengan pelaksanan ibadah pemeluk agama islam. Bahkan
tergolong menjadi hal yang wajib hukumnya, karena keterkaitannya dengan ibadah.
مالا يتم الواجب الا به فهو واجب[1]
Dalam islam kalender yang
digunanakan ialah kalender Qomariyah. Yakni penetapan awal bulan dan hari atas
dasar peredaran bulan. Awal hari dimulai sejak tampaknya bulan atau saat
matahari terbenam, dan awal bulan dimulai sejak terlihatnya hilal (bulan
tsabit). Hal ini tentu berbeda jauh dengan kalender Masehi yang menggunakan
Matahari sebagai acuan penetapan waktunya. Mulai dari permulaaan hari, bulan
dan tentunya metode penetapannya.
Terkait dengan metode penetapan awal
bulan qomariyah, ada begitu banyak silang pendapat dikalagan Ulama’. Hal ini
terjadi sebab perbedaan dalam mentafsiri dalil-dalil nash, baik yang bersumber
dari Al-Qur’an maupun Hadist Nabi SAW. Di Indonesia sendiri, setidaknya ada
tiga metode yang berkembang. Ketiga metode tersebut merupakan reprentasi dari
masing-masing kelompok yang berkembang di negri ini. Rukyatul Hilal bilfi’li
metode yang digunakan dan digalakkan oleh kelompik Nahdatul Ulama’, Hisab
Hujudul Hilal digunakan kelompok Muhammadiyah, dan terakhir Imkanur Rukyat,
metode yang digunakan pemerintah, sekaligus sebagai sebuah upaya menyatukan dua
kelompok sebelumnya dan kelompok-kelompok lainnya.
A.
Metodelogi
Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatu Ulama sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, dalam
masalah penentapan awal bulan qomariyah memilih menggunakan metode Rukyatul
Hilal Bilfi’li. Hal ini dilakukan atas dasar pemahaman mereka terkait beberapa
dalil nash. Diantaranya :
1.
Ayat Ai-Qur’an
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ...الأية[2]
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ...الأية[3]
2.
Hadis
Nabi SAW
صحيح
البخاري - (ج 6 / ص 478)
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا
حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوا لَهُ.[4]
صحيح مسلم - (ج 5 / ص353
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ
الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ
فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا[5]
صحيح مسلم - (ج 10 / ص 171
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ
وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ[6]
Atas dasar pemahaman terhadap dalil di atas, kalangan Nahdiyyin
berpendapat bahwa penetapan awal bulan dilakukan dengan metode Rukyatul Hilal
Bilfi’li. Rukyatul Hilal Bilfi’li ialah proses pengamatan hilal baik dengan
mata telanjang ataupun dengan menggunakan alat. Jika hilal (buln tsabit)
terlihat, maka malam tersebut merupakan awal bulan dan jika tida maka malam
tersebut masih tanggal 30 dari bulan itu.
Kalangan Nahdiyin berpendapat bahwasannya Rasulullullah SAW tidak pernah
menentukan hari berpuasa ataupun ied jauh sebelum waktunya. Artinya, rasulullah
tidak pernah melakukan praktek Hisab, dengan teori ini, runtuhlah argumen yang
hisab wujudul hilal.
Adapun terkait dengan pemahaman
kata فَاقْدُرُوا
لَهُ dalam redaksi hadis di
atas, kalangan Nahdiyin berpendapat bahwa arahannya ialah dengan disempurnakan
menjadi 30 hari. Karena menurut pandangan mereka, memahami suatu hadis maka
haruslah di jami’ dengan hadist yang lain dan masih dalam satu tema. Kata فَاقْدُرُوا لَهُ di tafsiri menggunakan kalimat فَصُومُواثَلَاثِينَ يَوْمًا yang terdapat dalam riwayat lain. Artinya, bagi mereka, jika hilal
tidak terlihat maka bulan tersebut harus di ikmal-kan menjadi 30 hari. Karena
dalam satu riwayat dijelaskan bahwa perhitungan hari dalam satu bulan
qomariyah, paling sedikitnya 29 hari dan paling banyak 30 hari.
B.
METODE
MUHAMMADIYAH
Kalangan Muhammadiyah dalam hal penetapan awal bulan qomariyah lebih cendrung mnggunakan metode Hisab wujudul Hilal. Adapun terkait dalil yang digunakan, sejatinya tidaklah berbeda dengan kalangan Nahdatul Ulama’. Hanya saja yang membuatnya menjadi berbeda adalah cara mereka memahami dalil-dalil nash tersebut. Sebagian diantara perbedaan itu ialah, pemahan mereka terhadap hadis di bawah ini:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا
حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Berbeda
dengan kalangan Nahdatul Ulama yang mengarahkan kata فَاقْدُرُوا لَهُ kepada makna ikmal. Kalangan muhammadiyah
megarahkannya maknanya dengan menetukan dengan kedudukan hilal. Tidak hanya itu
mereka juga memahami bahwa Surat Yunus Ayat lima diatas sebagai landasan
kewenangan penggunaan hisab. Mereka juga memahami kata شَهِدَ dalam ayat berikut :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bermakana bebas, maksudnya baik meyakini/menyaksikan dengan
bil’aini (mata) ataupun bil’aqli (dengan akall/hisab).[7]
Yang dimaksud dengan wujudul hilal disini ialah,
terbenamnya matahari untuk pertamakalinya setelah setelah terjadinya ijtimak
bulan-matahari,dan sebelum terbenamnya bulan. Jadi, setidaknya ada tiga
kriteria yang harus terpenuhi:
a)
Sudah terjadi
ijtimak bulan-matahari
b)
Ijtimak
bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari
c)
Pada saat
terbenam matahari bulan berada di atas ufuk (belum terbenam)
C.
Kesimpulan
Perbedaan terkait metodelogi
penetapan awal bulan qomariyah seharusnya tidaklah menjadi sebuah masalah, tapi
haruslah dipandang sebagai sebuah rahmah. Perbedaan pandangan antara kelompok
NU dan Muhammadiyah adalah hal yang lumrah. Jauh sebelumnya, dimasa Rasulullah
SAW silang pendapat pun sudah biasa. Selama perbedaan tersebut tidak sampai
merusak akidah, penulis kira tidaklah masalah.
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah
sejatinya hanya terletak pada cara mereka memahami dalil-dalil nash, bukan
perbedaan sumber dalilnya. Dalilnya sama-sama berasal dari al-qur’an dan
hadist, jadi secara aqidah tidak ada yang salah. Dari itu, sejatinya yang perlu
kita tekannkan ialah bagaimana cara kita menyikapinya. Jadi, mari bijak
menyikapi perbedaan. Karena dengan berbeda kita dapat dipersatukan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Hadist
Khozin
Muhyidin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Buana Pustaka, 2004
Prof.Dr.H.Nazaruddin
Umar dkk, Upaya Penyatuan Kalender Hiriyah Indonesia Sejak 1975 Hingga Kini,
Duta Media 2018
Maktabah
Syamilah
[1] .Kaidah
Ushul Fiqih, suatu perkara wajib yang tidak dapat dijalankan tanpa ada bantuan
dari suatu hal yang lain, maka ia menjadi wajib pula
[2]
QS.Al-Baqarah ayat 189
[3] QS.Yunus
Ayat 5
[4] Maktbah
Syamilah, Shahih Bukhori, juz 6 Shahifah 478
[5] Maktbah
Syamilah, Shahih Muslim, Juz 5 Shahifah 353
[6] Maktbah
Syamilah, Shahih Muslim, Juz 5 Shahifah 353
[7] Keterangan
ini disampaiakan oleh Drs.H Syamsul Arifin dalam buku Upaya Penyatuan Kalender
Hijriyah Indonesia Sejak 1975 Hinga Kini. Buku tersebut adalah kumpulan tulisan
makalah cendikiawan muslim indonesia, yang berisi tulisan-tulisan seputar
kalender qomariyah.
Subhanallah. Sedikit pengetahuan yang bisa saya angkat dari tulisan di atas ustadz Ihya ul Ulum.. terima kasih infonya yang sangat bermanfaat. Perbedaan memang harus ada, asalkan jangan sampai merusak tatanan agama.
BalasHapusnjihhh khi
Hapus