BREAKING NEWS

Tegas dalam berfikir Lembut dalam bertindak

Selasa, 21 April 2020

PERBEDAAN METODELOGI NAHDATUL ULAMA’ DAN MUHAMMADIYAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH


PERBEDAAN METODELOGI NAHDATUL ULAMA’ DAN MUHAMMADIYAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QOMARIYAH
Oleh: Ihya'ul Ulum

            Dalam islam, kalender tidak hanya digunakan sebagai petunjuk tannggal semata. Lebih dari itu, ia juga digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan ibadah, seperti puasa, dua hari raya dan juga ibadah haji. Puasa dilaksanakan dibulan Ramadhan, Idul fitri pada bulan Syawal dan ibadah Haji pada bulan Dzulhijjah. Karena itu, penetapan waktu, hari, dan awal bulan merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan, sebab ia juga memiliki hubungan dengan pelaksanan ibadah pemeluk agama islam. Bahkan tergolong menjadi hal yang wajib hukumnya, karena keterkaitannya dengan ibadah.
مالا يتم الواجب الا به فهو واجب[1]
            Dalam islam kalender yang digunanakan ialah kalender Qomariyah. Yakni penetapan awal bulan dan hari atas dasar peredaran bulan. Awal hari dimulai sejak tampaknya bulan atau saat matahari terbenam, dan awal bulan dimulai sejak terlihatnya hilal (bulan tsabit). Hal ini tentu berbeda jauh dengan kalender Masehi yang menggunakan Matahari sebagai acuan penetapan waktunya. Mulai dari permulaaan hari, bulan dan tentunya metode penetapannya.
            Terkait dengan metode penetapan awal bulan qomariyah, ada begitu banyak silang pendapat dikalagan Ulama’. Hal ini terjadi sebab perbedaan dalam mentafsiri dalil-dalil nash, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Hadist Nabi SAW. Di Indonesia sendiri, setidaknya ada tiga metode yang berkembang. Ketiga metode tersebut merupakan reprentasi dari masing-masing kelompok yang berkembang di negri ini. Rukyatul Hilal bilfi’li metode yang digunakan dan digalakkan oleh kelompik Nahdatul Ulama’, Hisab Hujudul Hilal digunakan kelompok Muhammadiyah, dan terakhir Imkanur Rukyat, metode yang digunakan pemerintah, sekaligus sebagai sebuah upaya menyatukan dua kelompok sebelumnya dan kelompok-kelompok lainnya.

   A.    Metodelogi Nahdatul Ulama (NU)

Nahdatu Ulama sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, dalam masalah penentapan awal bulan qomariyah memilih menggunakan metode Rukyatul Hilal Bilfi’li. Hal ini dilakukan atas dasar pemahaman mereka terkait beberapa dalil nash. Diantaranya :
1.      Ayat Ai-Qur’an
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ...الأية[2]
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ...الأية[3]
2.      Hadis Nabi SAW
صحيح البخاري - (ج 6 / ص 478)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ.[4]
 صحيح مسلم - (ج 5 / ص353
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا[5]
صحيح مسلم - (ج 10 / ص 171
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ[6]
Atas dasar pemahaman terhadap dalil di atas, kalangan Nahdiyyin berpendapat bahwa penetapan awal bulan dilakukan dengan metode Rukyatul Hilal Bilfi’li. Rukyatul Hilal Bilfi’li ialah proses pengamatan hilal baik dengan mata telanjang ataupun dengan menggunakan alat. Jika hilal (buln tsabit) terlihat, maka malam tersebut merupakan awal bulan dan jika tida maka malam tersebut masih tanggal 30 dari bulan itu.
Kalangan Nahdiyin berpendapat bahwasannya Rasulullullah SAW tidak pernah menentukan hari berpuasa ataupun ied jauh sebelum waktunya. Artinya, rasulullah tidak pernah melakukan praktek Hisab, dengan teori ini, runtuhlah argumen yang hisab wujudul hilal.
Adapun terkait dengan pemahaman  kata فَاقْدُرُوا لَهُ dalam redaksi hadis di atas, kalangan Nahdiyin berpendapat bahwa arahannya ialah dengan disempurnakan menjadi 30 hari. Karena menurut pandangan mereka, memahami suatu hadis maka haruslah di jami’ dengan hadist yang lain dan masih dalam satu tema. Kata فَاقْدُرُوا لَهُ   di tafsiri menggunakan kalimat فَصُومُواثَلَاثِينَ يَوْمًا  yang terdapat dalam riwayat lain. Artinya, bagi mereka, jika hilal tidak terlihat maka bulan tersebut harus di ikmal-kan menjadi 30 hari. Karena dalam satu riwayat dijelaskan bahwa perhitungan hari dalam satu bulan qomariyah, paling sedikitnya 29 hari dan paling banyak 30 hari.

   B.     METODE MUHAMMADIYAH


Kalangan Muhammadiyah dalam hal penetapan awal bulan qomariyah lebih cendrung mnggunakan metode  Hisab wujudul Hilal. Adapun terkait dalil yang digunakan, sejatinya tidaklah berbeda dengan kalangan Nahdatul Ulama’. Hanya saja yang membuatnya menjadi berbeda adalah cara mereka memahami dalil-dalil nash tersebut. Sebagian diantara perbedaan itu ialah, pemahan mereka terhadap hadis di bawah ini:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
            Berbeda dengan kalangan Nahdatul Ulama yang mengarahkan kata  فَاقْدُرُوا لَهُ  kepada makna ikmal. Kalangan muhammadiyah megarahkannya maknanya dengan menetukan dengan kedudukan hilal. Tidak hanya itu mereka juga memahami bahwa Surat Yunus Ayat lima diatas sebagai landasan kewenangan penggunaan hisab. Mereka juga memahami kata شَهِدَ dalam ayat berikut :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Bermakana bebas, maksudnya baik meyakini/menyaksikan dengan bil’aini (mata) ataupun bil’aqli (dengan akall/hisab).[7]
            Yang dimaksud dengan wujudul hilal disini ialah, terbenamnya matahari untuk pertamakalinya setelah setelah terjadinya ijtimak bulan-matahari,dan sebelum terbenamnya bulan. Jadi, setidaknya ada tiga kriteria yang harus terpenuhi: 
   a)      Sudah terjadi ijtimak bulan-matahari
   b)      Ijtimak bulan-matahari terjadi sebelum terbenam matahari
   c)      Pada saat terbenam matahari bulan berada di atas ufuk (belum terbenam)

   C.    Kesimpulan

            Perbedaan terkait metodelogi penetapan awal bulan qomariyah seharusnya tidaklah menjadi sebuah masalah, tapi haruslah dipandang sebagai sebuah rahmah. Perbedaan pandangan antara kelompok NU dan Muhammadiyah adalah hal yang lumrah. Jauh sebelumnya, dimasa Rasulullah SAW silang pendapat pun sudah biasa. Selama perbedaan tersebut tidak sampai merusak akidah, penulis kira tidaklah masalah.

            Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah sejatinya hanya terletak pada cara mereka memahami dalil-dalil nash, bukan perbedaan sumber dalilnya. Dalilnya sama-sama berasal dari al-qur’an dan hadist, jadi secara aqidah tidak ada yang salah. Dari itu, sejatinya yang perlu kita tekannkan ialah bagaimana cara kita menyikapinya. Jadi, mari bijak menyikapi perbedaan. Karena dengan berbeda kita dapat dipersatukan. 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Al-Hadist
Khozin Muhyidin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Buana Pustaka, 2004
Prof.Dr.H.Nazaruddin Umar dkk, Upaya Penyatuan Kalender Hiriyah Indonesia Sejak 1975 Hingga Kini, Duta Media 2018
Maktabah Syamilah


[1] .Kaidah Ushul Fiqih, suatu perkara wajib yang tidak dapat dijalankan tanpa ada bantuan dari suatu hal yang lain, maka ia menjadi wajib pula
[2] QS.Al-Baqarah ayat 189
[3] QS.Yunus Ayat 5
[4] Maktbah Syamilah, Shahih Bukhori, juz 6 Shahifah 478
[5] Maktbah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 5 Shahifah 353
[6] Maktbah Syamilah, Shahih Muslim, Juz 5 Shahifah 353
[7] Keterangan ini disampaiakan oleh Drs.H Syamsul Arifin dalam buku Upaya Penyatuan Kalender Hijriyah Indonesia Sejak 1975 Hinga Kini. Buku tersebut adalah kumpulan tulisan makalah cendikiawan muslim indonesia, yang berisi tulisan-tulisan seputar kalender qomariyah.

Share this:

2 komentar :

  1. Subhanallah. Sedikit pengetahuan yang bisa saya angkat dari tulisan di atas ustadz Ihya ul Ulum.. terima kasih infonya yang sangat bermanfaat. Perbedaan memang harus ada, asalkan jangan sampai merusak tatanan agama.

    BalasHapus

 
Designed By OddThemes & Distributd By Blogger Templates